Catatan Suksesi HMJ BSID FBS Undiksha Ditengah Pandemi Global
Februari 20, 2021BEM FBS Gelar Pelatihan Soft Skill
April 30, 2021Gegap gempita pergerakan mahasiswa dalam politik negara tercatat gemilang semasa Presiden Soekarno hingga dekade awal Orde Baru. Benih-benihnya telah tersemai sejak masa penjajahan. Tidak tanggung-tanggung memang, segelintir mahasiswa melahirkan gerakan Kebangkitan Nasional. Pentolan-pentolan mahasiswa, baik yang kuliah di Hindia maupun di Negeri Belanda, pada akhirnya menjadi pemimpin bangsa yang idealis dengan kenegarawanan kebangsaan yang murni. Sebut saja Hatta dan Syahrir.
Puncak gerakan mahasiswa Indonesia dicapai pada dekade menjelang Presiden Soekarno tumbang. Kala itu, mahasiswa tidak memikirkan dirinya sendiri untuk meraih gelar dan hidup layak setelah menyandang gelar sarjana. Mereka memilih universitas untuk berjuang memenuhi panggilan nurani bangsanya. Kampus-kampus besar di tanah air mirip parlemen tanpa partai politik.
Mereka tidak ambil pusing soal masa studi. Mahasiswa menjelma menjadi warga negara yang terhormat. Dari sinilah mencul ungkapan bahwa mahasiswa adalah agen perubahan. Ini sama sekali bukan retorika kosong atau isapan jempol. Mahasiswa memiliki prinsip-prinsip kebenaran yang mereka perjuangkan. Kampus dan sistem kuliah justru mengikuti arus pergerakan mahasiswa. Hal ini terbukti dengan munculnya program-program kampus membangun bangsa. KKN (Kuliah Kerja Nyata) adalah sebuah program bagi mahasiswa terlibat dalam persoalan bangsa dan berperan di dalamnya. Seorang mahasiswa IPB pergi ke Pulau Buru untuk KKN dan baru kembali setelah 13 tahun bekerja bersama warga desa.
Orde Baru menarik mahasiswa Indonesia ke kampus dengan program NKK BKK, mengembalikan mahasiswa ke jalur yang benar versi politis Orde Baru. Gerakan mahasiswa bergolak di dalam kampus-kampus dan memilih sikap yang antipemerintah. Lantas gerakan ini meledak pada 1998. Namun mahasiswa tidak memiliki kekuatan uang atau modal, ketika selama mereka menjadi gerakan di kampus-kampus, Orde Baru sama sekali mengubah tatanan ideologi dan politik bangsa.
Maka, gerakan mahasiswa pasca 1998 atau setelah Reformasi, sepertinya tidak bermakna lagi. Selanjutnya, memang pergantian generasi, ketika sosok-sosok mahasiswa seperti Soe Hok Gie atau Hariman Siregar, semakin terkubur dalam lipatan sejarah pergerakan mahasiswa.
Mahasiswa yang sebelumnya adalah subjek intelektual yang ditempa di kampus-kampus, kini menjadi objek atau bahan baku produk tenaga kerja yang harus dibentuk oleh perguruan tinggi untuk menyuplai kebutuhan tenaga murah pabrik-pabrik kaum kapitalis.
Mahasiswa semakin pragmatis. Kuliah adalah investasi yang semakin mahal. Maka
tujuan kuliah hanya satu: mendapat pekerjaan. Menjadi penganggur setelah tamat kuliah adalah aib keluarga dan universitas. Maka di balik tujuan mencetak tenaga kerja yang dijual di bursa kerja untuk menggerakkan pabrik-pabrik, sekaligus untuk bersembunyi, dikenalkan ideologi baru bernama kewirausahaan.
Mahasiswa dipersiapkan untuk tetap menjadi calon-calon kapitalis yang sukses dan mencipta pabrik yang mempekerjakan ratusan orang. Hal ini mengubah potret mahasiswa Indonesia. Tidak ada lagi gerakan sosial politik praktis. Yang ada kini adalah gerakan pemikiran mahasiswa yang produktif secara ekonomis.
Gerakan mahasiswa memang sudah mati, lebih mati lagi ketika kampus-kampus menerima mahasiswa milenial. Bahkan keadaan ini mendisrupsi kampus. Krurikulum perguruan tinggi diubah semata-mata untuk melayani mereka. Mereka tidak tahu gap-gap yang terjadi, misalnya di antara dosen.
Dan, organisasi kemahasiswaan benar-benar tidak mampu lagi berperan total. Organisasi mahasiswa dengan berbagai kegiatan dijadikan kambing hitam penghambat masa studi. Namun demikian, organisasi atau lembaga-lembaga mahasiswa tetap bertahan karena ada sosok-sosok mahasiswa yang militan. Sayang mereka kurang berperan karena tiada dukungan infrastruktur ideologi dan politik gerakan mahasiswa.
Sejak program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka digelontorkan oleh Kemendikbud, ada arus balik gerakan mahasiswa. Kementerian menyiapkan berbagai program idealis yang bisa diikuti oleh mahasiswa untuk berperan dalam mengatasi persoalan bangsa. Negara menghargai keterlibatan ini dengan SKS sehingga mahasiswa yang terlibat tidak rugi secara administrasi akademik.
Di tengah kondisi inilah Putu Ega Yudia Mastika dan I Kadek Justiawan (Prodi Pendidikan Bahasa Inggris dan Prodi Pendidikan Bahasa Bali), menjadi pemimpin BEM FBS (Badan Ekskutif Mahasiswa tingkat Fakultas Bahasa dan Seni). Mereka dipilih dalam PEMIRA (Pemilu Raya) yang dijalankan secara daring, pertengahan Februari lalu.